Pembaharuan Hukum Pidana
Pembaharuan Hukum Pidana
Pertama, perlu diperhatikan upaya internasional dalam menanggulangi cyber crime
itu sendiri sehingga terjadi sinergi antara kiat - kiat yang dilakukan
untuk menanggulanginya baik secara nasional, regional maupun
internasional.
Dalam Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer - related crimes,
mengajukan beberapa kebijakan yang antara lain menghimbau negara -
negara anggota untuk mengintensifkan upaya - upaya penaggulangan
penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan
langkah - langkah sebagai berikut :
- Melakukan modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana.
- Mengembangkan tindakan - tindakan pencegahan dan pengamanan komputer.
- Melakukan langkah - langkah untuk membuat peka warga masyarakat, aparat
pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan
yang berhubungan dengan komputer.
Kedua, dalam rangka mengejawantahkan seruan internasional dalam menaggulangi cyber crime tersebut, hal - hal menyangkut pidana substantif yang
perlu diubah adalah konsep pertanggung jawaban pidana. Seperti yang
diutarakan di atas bahwa pada prinsipnya pertanggungjawaban dalam hukum
pidana adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability base on fault).
Akan tetapi dalam kaitannya dengan penaggulangan cyber cirme,
khusus perlindungan terhadap sistem keamanan komputer oleh lembaga
penyedia jasa internet atau pejabat / petugas yang diembani tugas
tersebut, selain liability base on fault terhadap para pelaku, perlu dipikirkan kemungkinan pertanggungjawaban ketat (strict liability).
Pertanggungjawaban ini artinya seorang pelaku dapat dipidana semata -
mata karena telah dipenuhinya unsur - unsur tindak pidana tanpa
memperhatikan lebih jauh kesalahan pembuat dalam melakukan tindak pidana
tersebut. Dalam konteks cyber crime
ini, artinya pemilik lembaga penyedia jasa internet atau pejabat /
petugas atau orang yang bertanggung jawab dalam bidang information technology bertanggung jawab atas keamanan dari sistem komputernya.
Konsekuensi lebih lanjut apabila kejahatan internet dilakukan melalui
komputer yang berada di bawah tanggung jawabnya, maka pemilik atau orang
yang bertanggung jawab dalam bidang information technology dapat dipidana.
Ketiga, masih dalam kaitannya dengan pidana subtantif, sambil menunggu cyber law yang lebih komprehensif, kiranya perlu dilakukan penambahan beberapa ketentuan dalam KUHP yang menyangkut pencurian, penipuan, pemalsuan maupun perusakan untuk menanggulangi cyber crime yang modus operandinya tiap kali berkembang.
Banyak negara telah menempuh hal yang demikian, antara lain Belanda, Canada, Denmark, Finlandia, Italia, Jerman, Perancis dan Yunani. Namun ada beberapa negara yang membuat undang - undang khusus berkaitan dengan komputer, seperti Israel dan Inggris. Selain itu pula ada yang memasukan cyber crime ke dalam undang - undang telekomunikasi, seperti Cina.
Pasal 97 atau Pasal 103 WvS, tanpa merubah bentuk yang ada. Dalam Pasal 97 – ketentuan baru yang ditambahkan dalam WvS – menyatakan, “Hij
die wederechtelijk binnendring in een daartegen beveiligd
geatutomatiseerd werk voor de opslag of werking van gegevens, of in een
daartegen beveiligd deel daar van, wordt gestraft met gevangeninnistraf
van ten hoogste zes maanden of geldboete van de derde catagorie”. Sedangkan dalam Pasal 103 WvS dinyatakan, “Hij
die opzettelijk door misdrijf uit een geautomattiseerd werk verkregen
gegevens met winsttoogmerk bekend maakt of gebruikt, wordt gestraft met
gevangennisstraf van ten hoogste drie jaren of geldboete van de vierde
catagorie”.
Keempat, dalam menyusun cyber law yang berkaitan dengan penaggulangan cyber crime, kiranya dapat membandingkan dengan draft Konvensi Cyber Crime yang dihasilkan oleh European Committee on Crime Problems Beberapa kata kunci yang menarik untuk disimak, antara lain Illegal access,Illegal interception, Data interference, System interference, Misuse of devices, computer - related forgery dan computer - related fraud.
Kelima, Data elektronik sebagai alat
bukti yang sah di pengadilan. Selain itu apabila kita merujuk kepada
lima alat bukti yang sah sebagaimana yang telah diuraikan di atas, satu
- satunya alat bukti yang cukup kuat dalam hal pembuktian di pengadilan
terhadap perkara cyber crime adalah keterangan ahli. Sayangnya berdasarkan KUHAP,
petunjuk hanya dapat diperoleh sebagai alat bukti jika berasal dari
keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa, tidak termasuk
keterangan ahli.
Oleh sebab itu dalam revisi KUHAP atau setidak - tidaknya dalam hukum acara yang berkaitan dengan cyber crime,
perlu ditambahkan bahwa petunjuk sebagai alat bukti juga bisa diperoleh
hakim dari keterangan ahli. Bahkan sangat mungkin, selain kelima alat
bukti tersebut ditambah dengan data elektronik, khusus mengenai
pembuktian cyber crime perlu
ditambahkan alat bukti pengetahuan hakim. Artinya, hakim yang mengadili
perkara - perkara tersebut, sedikit – banyaknya menguasai atau setidak -
tidaknya mengetahui perihal cyber space.
Keenam, berkaitan negatief wettelijk bewijs theorie
atau hakim terikat pada alat bukti menurut undang - undang secara
negatif . Hakekat dari teori pembuktian yang didasarkan pada pembuktian
berganda yaitu antara alat bukti dan keyakinan, bukanlah sesuatu yang
mudah, maka untuk membuktikan kejahatan yang sulit pembuktiannya, jangan
menggunakan dasar pembuktian yang sulit.
Dalam rangka mempermudah pembukian terhadap cyber crime, maka dasar pembuktian yang sebaiknya digunakan adalah conviction intime atau setidaknya conviction raisonne. Conviction intime artinya untuk menjatuhkan putusan, hakim hanya berdasar pada keyakinan semata tanpa dipengaruhi alat bukti. Sementara conviction raisonne berarti dasar pembuktian adalah keyakinan hakim dalam batas - batas tertentu atas alasan yang logis.
Pembuktian ini memberi keleluasaan kepada hakim untuk menggunakan alat -
alat bukti secara bebas disertai dengan alasan. Dengan demikian bewijs minimum yang ditentukan dalam KUHAP, bahwa hakim dalam memidana terdakwa minimal harus di dukung dua alat bukti, menjadi tidak relevan.
Ketujuh, masih berkaitan dengan pembuktian, khusus perihal bewijslast atau beban pembuktian, kiranya perlu dipikirkan kemungkinan diterapkan omkering van bewijslast atau pembuktian terbalik untuk kasus - kasus cyber crime
yang sulit pembuktiannya. Hakekat dari pembuktian terbalik ini adalah
si terdakwa harus bisa membuktikan bahwa dia tidak bersalah atas dakwaan
yang dituduhkan kepadanya. Paling tidak omkering van bewijslast ini
digunakan untuk mengadili para carder yang berbelanja dengan menggunakan kartu kredit orang lain secara melawan hukum.
Kedelapan, berdasarkan hasil
penelitian, selain pembaharuan terhadap hukum pidana matriil dan formil,
juga dibutuhkan badan khusus untuk menanggulangi cyber crime. Dalam badan khusus tersebut termasuk penyidik khusus untuk melakukan investigasi bahkan sampai pada tahap penuntutan.
Di samping itu pula pelatihan perihal cyber space
kepada aparat penegak hukum mutlak dilakukan. Sebab, tidaklah mungkin
seorang hakim menolak perkara dengan alasan tidak ada atau tidak tau
hukumnya. Sudah merupakan postulat dasar dalam ilmu hukum yang dikenal
dengan adagium ius curia novit. Artinya, seorang hakim dinaggap tau akan hukumnya.
<sumber : 2tinta.com>
No comments:
Post a Comment